Porter Latimojong, Jalan Berliku ke Puncak Rante Mario Gunung Latimojong

Porter Latimojong, Jalan Berliku ke Puncak Rante Mario Gunung Latimojong, Atap Sulawesi, Berbagi Pengalaman Pendakian Gunung Latimojong


Petualangan kembali berlanjut. Kali ini tujuanku adalah Pegunungan Latimojong yang terletak di Kabupaten Enrekang Sulawesi Selatan. Berketinggian 3478 meter di atas permukaan laut (mdpl), gunung dengan puncak tertingginya Rante Mario ini merupakan titik tertinggi yang ada di Pulau Sulawesi. Tak heran jika Gunung Latimojong masuk dalam daftar the 7 summits of Indonesia. Selain Rante Mario, Latimojong masih memiliki 10 puncak lainnya.

Perjalanan ke atap Sulawesi ini sebenarnya hampir tanpa rencana. Awalnya aku bersama rekan-rekan yang gemar berpetualang semasa kuliah di Jurusan Kehutanan Universitas Hasanuddin dulu ingin bernostalgia dengan nanjak bareng di Hari Kemerdekaan 17 Agustus yang juga jatuh di Hari Senin atau long weekend. Tempat yang dipilih adalah Lembah Ramma. Hamparan lembah hijau nan cantik yang terletak di kaki Gunung Bawakaraeng dekat dari Kota Makassar menjadi pilihan tempat yang disepakati. Namun hingga mendekati hari H, hanya 1 orang rekan sekaligus sahabat semasa kuliah dulu yang bisa bergabung. Ironisnya lagi, 2 hari sebelum hari keberangkatan tiba-tiba aku mendapat pesan singkat yang isinya mengabarkan bahwa Alam, rekan yang akan bersamaku juga tidak bisa ikut karena istrinya tiba-tiba masuk rumah sakit. Sementara aku sendiri sudah memesan tiket penerbangan Jakarta – Makassar pulang pergi jauh-jauh hari sebelumnya.

“The show must go on”. Aku tetap akan melanjutkan perjalanan ini meskipun seorang diri. Saat hari keberangkatan tersisa 1 hari lagi, tiba-tiba aku berpikir kenapa aku harus pergi ke Ramma. Toh awalnya tempat itu dipilih sebagai ajang nostalgia untuk mengingat masa-masa kuliah dulu. Namun jika hanya seorang diri, tujuan itu tentunya sudah tidak valid lagi. Gunung Latimojong yang memang sudah masuk dalam daftar ‘must climb’  kembali menyeruak. Selama ini aku belum membuat rencana karena menurut informasi dari beberapa rekan menjelaskan bahwa untuk mencapai puncak Rante Mario dibutuhkan waktu beberapa hari. Gunung Latimojong agak sulit jika didaki hanya pada saat weekend atau long weekend. Artinya aku harus mengambil cuti cukup panjang. Waktu tersisa sehari lagi saat aku mulai melakukan pencarian di internet. Beberapa informasi aku kumpulkan dan waktu pendakian aku kalkulasi. Berdasarkan pengalaman selama ini, gunung dengan ketinggian 3478 mdpl itu bisa aku daki dalam tempo 2 hari 1 malam atau cukup dilakukan di weekend. Ditambah waktu tempuh Jakarta-Makassar dan Makassar – Baraka, desa titik awal pendaki melakukan persiapan sebelum mulai nanjak. Artinya aku bisa menyelesaikan pendakian hingga tanggal 18 Agustus di mana aku sudah mengambil cuti sehari usai libur Hari Peringatan Kemerdekaan.

Pesawat yang akan membawaku terbang ke Makassar akan berangkat jam 5 pagi hari Sabtu tanggal 15 Agustus, artinya aku sudah harus berada di airport paling lambat jam 4 subuh. Setelah tidur selama 1 jam usai melakukan packing, aku meninggalkan rumah di bilangan Cibubur jam 2.30 subuh. Tepat jam 5 dinihari, pesawat yang aku tumpangi take off meninggalkan Soekarno Hatta Airport. Di pesawat aku mencoba untuk tidur namun mata sulit terpejam. Pikiranku dipenuhi dengan kekuatiran apakah akan mampu menyelesaikan perjalanan ke Atap Sulawesi, pulau tempat aku dilahirkan itu tanpa persiapan panjang dan matang.

Pesawat mendarat di Airport Sultan Hasanuddin tepat jam 8.30 pagi waktu setempat. Adikku sudah menunggu di Airport dan kami langsung meluncur ke rumahnya yang terletak di tengah Kota Makassar untuk sarapan. Usai sarapan, aku segera mempersiapkan diri untuk berangkat ke Kabupaten Enrekang yang terletak 233 km utara Makassar. Adikku bersedia meminjamkan mobilnya. waktu yang terbatas tidak memungkinkan aku untuk menggunakan bus atau kendaraan umum. Untuk mencapai Kota Enrekang diperlukan waktu 4-5 jam dengan melewati beberapa kabupaten di antaranya Maros, Pangkep, Pare-pare, dan Sidrap. Dari Kota Enrekang, masih dibutuhkan waktu lagi selama 1 jam untuk mencapai Kecamatan Baraka yang berjarak 45 km, titik terakhir perjalanan dengan mobil sekaligus titik awal persiapan pendakian. Itu berarti aku harus menyetir selama 5-6 jam dari Makassar untuk mencapai titik awal pendakian demi menjejakkan kaki di negeri atas awan Puncak Rante Mario. Dalam kondisi kurang istirahat, tentu saja aktivitas itu membutuhkan konsentrasi dan kehati-hatian ekstra tapi, ”the show must go on!”

Tepat jam 10.30 aku mulai menyetir seorang diri meninggalkan Makassar. Entah karena terlalu bersemangat, aku sedikit pun tak merasakan kantuk menyusuri jalanan melewati kota-kota yang terletak di sepanjang jalur Trans Sulawesi itu. Demi menghemat waktu, aku tetap menyetir dan tidak mampir makan siang kecuali untuk mengisi bahan bakar. Untuk itu aku sudah membekali diri dengan roti dan beberapa botol minuman ringan. Targetku harus tiba di Baraka sebelum maghrib dan secara hitung-hitungan aku masih bisa mencapainya. Namun aku memperhitungkan juga jika terjadi sesuatu di jalan dan hal itu akan menyita waktu.

Ternyata dugaanku benar. Saat tiba di Kabupaten Sidrap, beberapa ruas jalan utama ditutup karena jalanan digunakan untuk acara baris-berbaris dalam rangka peringatan Hari Kemerdekaan. Terpaksa aku harus berputar-putar mencari rute alternatif. Meskipun tak terlalu sulit karena aku bisa bertanya ke masyarakat lokal, tak urung hal itu cukup menyita waktu. Jam sudah menunjukkan hampir pukul 2 siang. Setelah berputar-putar beberapa saat, aku kembali menyusuri jalur Trans Sulawesi menuju kabupaten Enrekang, kabupaten terakhir.

Ternyata tantangan belum juga berakhir. Hal yang sama aku temui pula beberapa saat sebelum memasuki Kota Enrekang. Beberapa polisi berseragam memarkir kendaraannya di tengah jalan pertanda jalan itu tak bisa dilalui. Seorang petugas yang memblokade jalan dengan motor polisi menghampiri dan memintaku untuk menggunakan jalan alternative. Aku harus memutar di pinggiran kota karena jalan utama sedang digunakan untuk acara gerak jalan, sama seperti yang aku temui sebelumnya di Kabupaten Sidrap. Tak ada pilihan lain kecuali membelokkan mobil ke arah yang ditunjukkan. Untungnya aku mendapat hiburan pemandangan menarik saat menyusuri pinggiran Kota Enrekang.


Setelah bertanya beberapa kali ke masyarakat setempat akhirnya aku bisa meninggalkan Kota Enrekang menuju Baraka. Kecamatan Baraka terletak cukup jauh dari jalan poros. Berdasarkan informasi dari internet, aku menyetir sambil mencari papan petunjuk yang terpasang di sebelah kiri jalan tepatnya di sekitar pasar Cakke yang terletak di jalan poros Enrekang-Toraja. Setelah menemukan papan petunjuk yang dimaksud, mobil aku belokkan ke kanan tepat di depan Pasar Cakke. Jam menunjukkan pukul 3.30 saat aku mulai menyusuri jalan beton menuju Baraka. Meskipun mulai diserang rasa kantuk, aku tetap bersemangat dan merasa gembira karena akan segera tiba di titik awal persiapan pendakian. 


Tepat pukul 4 sore, aku tiba di depan rumah Pak Dadang yang juga sekaligus digunakan sebagai sekretariat Kelompok Pencinta Alam (KPA) Lembayung yang didirikannya beberapa tahun lalu. Informasi mengenai KPA Lembayung dan Pak Dadang aku dapatkan melalui tulisan salah satu blog di internet. Di situ disebutkan bahwa pak Dadang dan team KPA Lembayung sering membantu pendaki dari berbagai daerah yang membutuhkan bantuan yang berhubungan dengan persiapan pendakian.


Aku mengetuk pintu rumah pak Dadang dan disambut seorang wanita berjilbab yang ternyata istri beliau. Pak Dadang sedang ke Makassar. Aku mengutarakan maksud untuk melakukan pendakian seorang diri dan meminta bantuan untuk dicarikan teman yang bisa membantu membawakan barang sekaligus menjadi guide. 

Orang sering menyebutnya sebagai porter namun secara pribadi aku jarang menggunakan istilah itu. Aku lebih nyaman menganggap dan memperlakukannya sebagai teman atau rekan mendaki meskpun aku harus mengeluarkan sejumlah uang untuk jasanya menemani dan mengantar selama pendakian. Ibu Dadang segera mengontak seseorang dan akhirnya aku bisa mendapatkan rekan yang akan membawa barang sekaligus menemani menjejakkan kaki di titik tertinggi Pulau Sulawesi itu. Harun, pemuda berusia 18 tahun yang kerap mengantar tamu ke puncak Rante Mario akan menjadi trekking mate-ku kali ini.

Berkat bantuan Ibu Dadang pula aku bisa mendapatkan ojek untuk bisa segera ke Dusun Karangan, titik awal pendakian malam itu juga. Hanya saja aku perlu mengeluarkan biaya ekstra. Biasanya biaya ojek dari Baraka ke Karangan sebesar 150 ribu rupiah di siang hari, namun karena malam hari maka biayanya menjadi 200 ribu. Harun akan membawa motornya sendiri jadi aku tidak perlu menyewa ojek untuknya. Aku menyetujui harga itu. Jarak antara Baraka dan Karangan sekitar 27 km. Sebelum mencapai Karangan terlebih dahulu akan tiba di sebuah dusun bernama Rante Lemo yang berjarak 25 km dari Baraka. Jarak Rante Lemo – Karangan sejauh 2 km biasanya ditempuh pendaki lain dengan berjalan kaki atau trekking yang memakan waktu sekitar 1 jam. Dengan berada di Karangan artinya aku sudah memulai pendakian, sisa dilanjutkan lagi keesokan harinya.

Sekedar gambaran bahwa pendaki yang akan ke Gunung Latimojong biasanya menggunakan mobil truk sayur dari Baraka yang biasa digunakan penduduk setempat. Sayangnya truk itu hanya ada di hari Senin dan Kamis yang merupakan hari pasar di sana. Di luar kedua hari itu, pendaki harus mencharter mobil hardtop dengan biaya cukup mahal. Itu pun hanya akan diantar sampai di Desa Rante Lemo karena saat ini jalan penghubung antara Rante Lemo dan Karangan sedang dikerjakan jadi tidak bisa di akses mobil truk ataupun hardtop. Satu-satunya cara ke Karangan selain jalan kaki yaa.. itu tadi.. naik ojek.

Setelah beristirahat sejenak di rumah Pak Dadang, aku mengajak Harun mencari warung makan untuk makan siang meskipun saat itu jam sudah menunjukkan pukul 5 sore. Kami juga akan membeli perlengkapan logistik. Tambahan informasi bagi yang berminat mendaki Latimojong, anda tidak perlu membeli kebutuhan logistik dari daerah asal karena di Baraka ini semua tersedia dan harganya hampir sama. Selain tidak merepotkan karena harus membawa beban berat, dengan membelanjakan uang anda di sini juga bisa membantu perekonomian masyarakat lokal.  

Kelar makan siang dan membeli  kebutuhan logistik, kami kembali ke Base Camp Lembayung untuk bersiap-siap. Beberapa barang yang tidak akan terbawa selama trekking aku masukkan kembali ke mobil yang akan diparkir di kolong rumah samping Base Camp Lembayung.

Tepat jam 8 malam, kami mulai bergerak meninggalkan Baraka menembus kegelapan malam.Terlebih dahulu kami mampir ke Polsek Baraka untuk melakukan registrasi. Tak ada pembayaran apa pun, hanya sekedar mengisi nama dan waktu pendakian. Petugas polisi yang bertugas malam itu mengingatkan untuk kembali melapor saat turun nanti. Usai melapor, perjalanan menembus malam di Baraka menuju Karangan kembali kami lanjutkan.  Angin malam berhembus membawa rasa dingin seperti tak terasa karena semangat yang menggebu. Meski hanya diterangi cahaya dari lampu ojek, aku bisa melihat kondisi jalan yang dilewati sungguh tak layak dilewati motor. Jalanan rusak berbatu dan berdebu, gelap di sekeliling. Dari kejauhan hanya tampak lampu-lampu rumah di lereng gunung dan taburan ribuan bintang di langit menemani perjalanan pertamaku untuk menyapa Rante Mario. Sesekali aku harus membenarkan posisi duduk di atas sadel karena hempasan motor akibat jalanan rusak dan naik turun.

Setelah berjibaku dengan jalanan yang rusak parah dan membuat aku beberapa kali harus turun dari motor saat bertemu dengan tanjakan curam akhirnya kami tiba di depan rumah kepala dusun Karangan. Seseorang yang sedang duduk di sebuah Pos menyarankan kami untuk istirahat di rumah lain karena rumah bapak kepala dusun sudah full dengan pendaki lain. Jam sudah menunjukkan pukul 10 malam saat kami kembali melanjutkan perjalanan menuju salah satu rumah yang letaknya di punggung bukit yang lebih tinggi. Artinya….

Kami tiba di rumah Pak Simen yang juga saudara dari Kepala Dusun Karangan saat seisi rumah sudah tertidur pulas. Pak Simen membukakan pintu dan mempersilahkan kami untuk tidur di atas karpet hijau yang terhampar di bagian tengah rumah. Aku dan Harun membersihkan karpet yang dipenuhi dengan buah kopi lalu bersiap untuk makan malam yang sudah kami bungkus saat makan siang yang kesorean di Baraka. Usai menikmati makan malam, kami berdua segera masuk ke dalam sleeping bag dalam balutan udara dingin yang menusuk tulang.

Kami terbangun jam 6 pagi dan langsung melakukan persiapan pendakian. Ibu Simen sudah menyiapkan suguhan teh panas dan meminta kami sarapan terlebih dahulu. Tak lupa beliau juga membekali kami dengan nasi untuk bekal makan siang di jalur pendakian.


Jam 7.30, aku dan Harun mulai mengayun langkah pertama menyusuri jalan setapak melewati sela-sela kebun kopi. Suasana Dusun Karangan masih sepi berbalut kabut dingin. Awalnya kami menyusuri jalan datar lalu kemudian mulai menyusuri punggung bukit dimana sering dijumpai percabangan. Di titik awal pendakian inilah pendaki perlu berhati-hati agar tidak salah jalur. Suara gemercik air sungai di sisi kiri jalan setapak mengiringi langkah dan nafas yang mulai tersengal.


Berselang 1 jam, kami tiba di Pos 1. Di sana kami bertemu beberapa pendaki lain dari berbagai daerah. Ada yang nge-camp (menginap) di sekitar Pos 1 namun ada juga yang tidur di rumah kepala dusun. Setelah bertegur sapa, kami melanjutkan perjalanan ke Pos 2. Jalur yang kami lewati masih bervariasi dan naik turun. Sesekali kami berhenti sejenak untuk beristirahat dan mengatur nafas. Menurut Harun, jalur itu masih terbilang mudah karena di beberapa tempat terdapat ‘bonus’, istilah pendaki untuk jalan datar atau menurun. 

Setelah berjalan selama hampir 1 jam, kami tiba di Pos 2 yang terletak di pinggir sungai dengan air mengalir deras. Beberapa pendaki yang memilih nge-camp di Pos 2 terlihat sedang mandi dan beberapa lainnya sedang mempersiapkan sarapan. Aku dan Harun kembali beristirahat. Harun menyarankan agar aku mengumpulkan tenaga karena setelah Pos 2 kami akan melewati jalur paling berat di route pendakian ini, sama seperti  informasi yang aku dapatkan dari beberapa blog.   


Benar saja, selepas Pos 2 kami langsung dihadapkan pada route terjal dengan kemiringan sekitar 80 derajat. Kami harus berpegangan dan bergantung pada akar pohon untuk bisa naik. Sesekali harus melewati bagian tanah yang terlihat rapuh sementara jurang menganga di samping kiri seakan siap menelan andai kami melakukan kesalahan dalam melangkah. Aku berupaya untuk naik dengan susah payah begitu pula Harun yang membawa beban lebih berat di punggungnya. Aku yang hanya membawa daypack berisi kamera dan beberapa peralatan pribadi saja sudah sedemikian berat melangkahkan kaki dan terkadang harus merangkak. Sepintas jalur ini mengingatkanku pada jalur pendakian di Gunung Cikuray via Bayongbong, namun di Latimojong ini lebih ‘sadis’.

Setelah berjibaku dengan rute sadis dan ganas, sejam kemudian kami tiba di Pos 3. Arghhh... tak terkatakan kelelahan yang menerpa meskipun jarak antara Pos 2 dan Pos 3 hanya 600 meter. Kami segera mengeluarkan makanan dan minuman ringan yang kami bawa untuk mengganti tenaga yang terkuras usai bergelantungan di akar pepohonan.


Usai istirahat beberapa saat untuk memulihkan tenaga, kami melanjutkan perjalanan menuju Pos 4. Kali ini medannya sudah tak seberat sebelumnya namun tetap menantang. Beberapa pohon tumbang kerap menghalang perjalanan dan memaksa kami melakukan ‘manuver’.  Waktu sudah menunjukkan pukul 12 siang artinya kami sudah berjalan selama 4 jam dikurangi waktu istirahat. Aku menawarkan Harun untuk makan siang di Pos 4 namun dia menolak dan menyarankan untuk melakukannya di Pos 5 dimana terdapat sumber air. Ini salah satu kelebihan saat mendaki Gunung Latimojong dibandimg mendaki beberapa gunung di tempat lain. Meskipun musim kemarau namun air tetap tersedia di beberapa titik. Di Latimojong, air melimpah di beberapa tempat seperti di jalur sebelum Pos 1, Pos 2, Pos 5 hingga di Pos 7. Hal itu tentunya sangat berarti bagi para pendaki karena tak perlu membawa persediaan air dari bawah. Botol air bisa di-refill.


Pukul 2 siang kami tiba di Pos 5. Aku melihat Harun sudah sangat kelelahan. Dia lalu menyarankan agar kami nge-camp di Pos 5 ini saja meskipun target awal kami ingin nge- camp di Pos 7. Informasi yang kami dapatkan dari pendaki yang turun bahwa Pos 7 dan Pos 8 sudah penuh dengan pendaki lain yang bermaksud melaksanakan upacara bendera keesokan harinya. Meskipun aku masih sanggup melanjutkan perjalanan namun mendengar saran Harun apalagi melihat kondisinya yang sudah sangat kelelahan, akhirnya aku setuju untuk nge-camp di Pos 5. Karena aku bermaksud menyaksikan sunrise di puncak, kami akan kembali bergerak melanjutkan perjalanan di subuh harinya. Tenda di pasang, alat masak di gelar. Kami segera menyiapkan makan siang. Beberapa pendaki lain yang juga nge-camp di Pos 5 terlihat sedang asyik bersantai dan bercengkerama.

Malam harinya, 3 orang anggota KPA Lembayung juga tiba di Pos 5 dan bergabung dengan kami. Mereka yang tadinya bermaksud nge-camp di Pos 7 akhirnya membatalkan niat dan akan bersama-sama kami melanjutkan perjalanan di subuh harinya. Kami bersama-sama menyiapkan makan malam sambil berdiskusi mengenai petualangan yang ada di Enrekang ini.  Beberapa pendaki dari daerah lain seperti dari Makassar dan Enrekang juga bergabung bersama kami. Jam 10 malam, kami sepakat mengakhiri diskusi dan segera masuk ke dalam sleeping bag.

Dalam dingin subuh saat jam menunjukkan pukul 4.15 kami terbangun. Sebenarnya itu sudah sangat terlambat untuk menyaksikan sunrise mengingat jarak tempuh dari Pos 5 ke puncak masih membutuhkan waktu sekitar 3 jam lagi. Kami segera menyiapkan sarapan instant  berupa cereal dan teh panas untuk diminum sebelum berangkat sekaligus mengisi termos yang akan kami bawa ke puncak. Tenda dan barang-barang lainnya kami tinggalkan. Bersama pendaki lain, kami mulai meninggalkan Pos 5 dituntun cahaya headlamp pada pukul 4.45 pagi.

Meskipun tak seberat jalur dari Pos 2 ke Pos 3, namun jalur trekking dari Pos 5 ke Pos 6 cukup menguras tenaga. Berkali-kali kami harus berhenti mengatur nafas yang seakan berpacu dengan dinginnya subuh dan membuat badan menggigil. Kami masih belum bisa melihat apa-apa karena kondisi jalur yang tertutup pepohonan. Langit sudah mulai memerah meski kami tak bisa menyaksikan sunrise karena mendaki dari arah sebelah barat. Sunrise hanya bisa di saksikan di Pos 8 dan di puncak. Perjalanan kembali dilanjutkan ke Pos 7.


Langit sudah mulai terang saat kami melintasi hutan lumut sebelum Pos 7. Dikatakan hutan lumut karena hampir semua pohon yang ada di tumbuhi lumut. Di beberapa titik kami sudah bisa menyaksikan pemandangan indah berupa goresan merah di langit yang mulai terlihat warna birunya. Tak jarang aku berhenti untuk mengambil gambar. Tak seberapa lama, kami tiba di Pos 7 dimana terdapat banyak tenda pendaki. Karena terbatasnya area nge-camp, beberapa tenda terlihat didirikan diatas tanah miring. Entah bagaimana cara penghuninya tidur semalam. Kami tak berhenti lama di Pos 7 dan langsung lanjut ke Pos 8 atau lebih dikenal dengan istilah Pos telaga. Di tempat itu terdapat sebuah telaga kecil yang di musim hujan berisi air dan bisa dimanfaatkan sebagai sumber air oleh para pendaki.

Saat tiba di Pos 8, ternyata para pendaki yang jumlahnya mencapai ratusan orang sedang melakukan upacara bendera memperingati Hari Kemerdekaan yang ke 70. Harun dan rekan lain dari KPA Lembayung bergabung dengan mereka sebagai peserta upacara sementara aku berkeliling mengambil foto mereka. Upacara dilakukan dengan cara sederhana namun khidmat. Bendera merah putih di ikatkan di sebuah tiang kecil dan pendek karena tak ada tiang panjang. Lagu Indonesia Raya menggema yang membuat bulu kuduk berdiri. Menyaksikan upacara di titik tertinggi Pulau Sulawesi sempat menghadirkan keharuan tersendiri. Betapa tidak, aku lahir dan besar di pulau itu namun baru kali ini bisa menyapanya.


Usai upacara, kami melanjutkan perjalanan menuju puncak Rante Mario yang sudah tampak dari kejauhan. Sang Saka Dwi warna Merah Putih terlihat berkibar dengan gagahnya. Karena tak sabar ingin segera berada di sana, aku mempercepat langkah meskipun tetap harus mengatur nafas karena untuk mencapai puncak harus melewati tanjakan panjang dan berbatu. Tampak dari jauh pendaki-pendaki lainnya sedang bercengkerama di sekitar Tugu Triangulasi. Tak butuh waktu lama, aku sudah bergabung dengan ratusan pendaki yang sudah berkumpul di sekitar tugu yang merupakan Titik Triangulasi Puncak Rante Mario, Puncak Gunung Latimojong, sang atap Pulau Sulawesi. Aku merasakan badan gemetar bukan karena tiupan angin yang cukup kencang dan udara dingin. Aku gemetar karena terharu. Aku seperti mimpi bisa berada di tempat ini, tempat yang pernah aku impikan dan saat ini bisa terwujud. Dengan perlahan aku berjalan mendekati tugu dan mengulurkan tangan menyentuh tembok tugu yang terasa dingin seraya mengucapkan puji syukur ke hadirat-Nya. Sungguh sebuah karunia yang takkan terbalas atas semua kemudahan dan kelancaran perjalanan yang aku dapatkan untuk berada di tempat itu.


Pandangan aku arahkan berkeliling dan lagi-lagi aku mendapatkan diriku terpesona dan terkagum-kagum akan hamparan keindahan panorama yang tersaji di hadapanku. Hamparan luas awan laksana gulungan ombak diselingi puncak-puncak gunung yang menyembul di sela-selanya berpadu dengan langit biru membingkai mahakarya pagi di puncak Sulawesi itu. Aku tak sanggup berkata-kata lagi, silahkan lihat dan saksikan sendiri foto-fotonya.

 
 
 
 

Usai mengambil beberapa foto, aku mengajak Harun untuk segera turun dan kembali ke tenda di Pos 5. Jam menunjukkan pukul 10 pagi. Harun segera memasukkan barang-barang ke dalam daypack dan kami berdua mulai menuruni puncak Rante Mario. Rekan dari KPA Lembayung akan menyusul karena masih ingin berlama-lama di puncak. Dalam perjalanan turun, kami beriringan dengan pendaki lainnya.

Berselang 2 jam kami tiba kembali di Pos 5 dan segera mengemasi barang bawaan. Tenda di bongkar dan semua perlengkapan dimasukkan ke dalam carrier. Setelah membereskan area dan memasukkan semua sampah-sampah ke dalam plastik sampah untuk dibawa turun, kami mulai menuruni jalur pendakian. Seperti pendakian lainnya, waktu tempuh saat turun akan lebih cepat dibanding saat naik meski itu tak berarti harus mengurangi kehati-hatian. Khususnya saat menuruni jalur dari Pos 3 ke Pos 2 yang sebelumnya aku ceritakan sangat terjal, saat turun bahkan harus lebih berhati-hati. Jika tidak, bisa saja kami terperosok ke dalam jurang yang cukup dalam.

Kami hanya membutuhkan waktu 1 jam menempuh jarak dari Pos 5 ke Pos 2. Kami berhenti untuk beristirahat dan aku memanfaatkan kesempatan itu untuk mandi dengan air sungai yang sangat sejuk. Harun membuka kompor dan membuatkanku cereal. Kami bergegas meninggalkan Pos 2 usai mandi dan makan siang seadanya mengingat aku masih akan melanjutkan perjalanan kembali ke Makassar.

Jam 4.30 sore kami tiba di rumah pak Simen di Karangan. Aku kembali akan menggunakan jasa ojek dari Karangan ke Baraka. Kali ini biayanya hanya 150 ribu. Setelah berpamitan ke Ibu Simen karena pak Simen sedang keluar, kami segera bergerak meninggalkan Karangan menuju Baraka. Dalam perjalanan pulang aku baru bisa menyaksikan kondisi jalanan yang kami lewati di malam sebelumnya. Ternyata kondisi jalanannya sangat rusak parah. Terlebih lagi di beberapa ruas jalan kami melewati pinggir jurang yang sangat dalam. Entah bagaimana kondisi jalan yang didominasi dengan tanah liat dan debu saat musim hujan, pastinya akan jauh lebih parah dan sulit diakses.


Kami tiba kembali di rumah pak Dadang atau Base Camp KPA Lembayung selepas Maghrib. Di sana sudah ada Pak Dadang dan aku menyempatkan diri mengobrol sebelum mulai mengangkat barang-barang ke dalam bagasi mobil. Mengingat aku masih akan menempuh jalur Baraka-Makassar selama 6 jam dengan menyetir seorang diri, aku segera berpamitan ke Bapak dan Ibu Dadang. Tak lupa aku mengucapkan terima kasih kepada Harun sambil memberikan ucapan terima kasih atas bantuan dan jasanya yang telah menemani, mengantar hingga menyiapkan semua kebutuhanku selama pendakian. Dia memintaku untuk kembali lagi untuk mencoba jenis petualangan lain yang banyak terdapat di Kabupaten Enrekang ini. Dia bersedia untuk menemani dan mengantar andai kelak aku datang lagi. Tepat jam 7.30 malam, aku meninggalkan Baraka dan kembali menyusuri jalan Trans Sulawesi menuju Makassar. Meski rasa lelah dan ngantuk menyerang, aku tetap berhati-hati mengendarai mobil di malam itu. untungnya suasana sepi dan jalan lengang. Aku tiba di Makassar saat jarum jam menunjukkan angka 1 dinihari.  

Video perjalanan lengkapnya bisa di lihat di Gunung Latimojong Video

Sumber,

Call Center ExploreWisata.com,
085.643.455.685
D72E559E / 7A722B86
#porter #guide #pemandu #transport lokal #rinjani 3.726 mdpl #semeru 3.676 mdpl #slamet 3.428 mdpl #lawu 3.265 mdpl #merbabu 3.145 mdpl #sindoro 3.150 mdpl #gunungprau 2.565 mdpl #gunungsikunir #porterrinjani #portersemeru #porterargopuro #portermerbabu #porterlawu #porterslamet #portersumbing #portersindoro #kaosadventure #kaosbacpacker #backpackerindonesia #opentripsemeru #opentripmerbabu #opentripkarimunjawa #opentriprinjani #cikuray #gede #parango #gunungsalak #bromo #karimunjawa #guapindul #raftingsungaielo #raftingelo #raftingprogo #tangkubanperahu #derawan #belitung #pahawang

Posting Komentar

Anda dapat mengomentari artikel ini menggunakan akun google anda. Silahkan untuk masuk ke email anda / akun google kemudian berkomentar secara bijak.

Lebih baru Lebih lama

Paket Pendakian Gunung

Package Corporate

Package Honeymoon

Safary Trip

Xplore Wisata

XploreWisata merupakan salah satu jasa penyedia jasa layanan guide dan porter pendakian gunung.

Hubungi Admin