Danau Toba dan Bubur Batu Membara di Perutbuminya




Danau Toba dan Bubur Batu Membara di Perutbuminya

http://ekliptika.wordpress.com

Sebuah penelitian yang telah berlangsung selama enam tahun terakhir telah mengungkap hal mencengangkan di perutbumi Danau Toba (propinsi Sumatra Utara). Menggunakan 40 seismometer (radas/instrumen perekam gempa) yang dipasang di sekeliling Danau Toba selama kurun Mei hingga Oktober 2008 Tarikh Umum (TU yang dianalisis hingga bertahun kemudian, tim peneliti gabungan Russia, Perancis dan Jerman mengungkap bahwa di perutbumi Danau Toba ini masih tersimpan magma. Bubur batu yang panas membara dalam jumlah relatif besar itu dijumpai berada di kedalaman lebih dari 7 kilometer dari paras air laut rata-rata (dpl).

Gambar 1. Pemandangan sisi selatan Danau Toba yang permai. Nampak pulau Pardepur yang seakan mengapung di air danau. Pulau ini sejatinya merupakan salah satu kubah lava yang menyembul di paras danau, dari sejumlah kubah lava di sini yang terbentuk pasca letusan sangat dahsyat dalam kurun 74.000 tahun silam. Sumber: Sutawidjaja, 2008 dalam Warta Geologi, 2008.

Gambar 1. Pemandangan sisi selatan Danau Toba yang permai. Nampak pulau Pardepur yang seakan mengapung di air danau. Pulau ini sejatinya merupakan salah satu kubah lava yang menyembul di paras danau, dari sejumlah kubah lava di sini yang terbentuk pasca letusan sangat dahsyat dalam kurun 74.000 tahun silam. Sumber: Sutawidjaja, 2008 dalam Warta Geologi, 2008.

Magma di bawah danau itu dijumpai secara tak langsung lewat analisis gelombang gempa-gempa tektonik kecil yang rutin terjadi di kawasan ini seiring eksistensi patahan besar Sumatra dan cabang-cabangnya. Tim peneliti memusatkan perhatian pada gelombang permukaan, yakni gelombang Rayleigh dan gelombang Love, dengan melacak perbedaan kecepatannya. Mereka menemukan gelombang Rayleigh yang melintas di bawah Danau Toba (periode 5 dan 15 detik) memiliki kecepatan lebih rendah dibanding yang melewati area lain disekitarnya. Hal sejenis juga dijumpai pada gelombang Love namun hanya pada periode kecil (5 detik) dan pada kedalaman lebih rendah. Guna menafsirkan perbedaan antara perilaku gelombang Rayleigh dan Love di bawah Danau Toba, tim peneliti memutuskan untuk ‘melihat’ melalui gelombang sekunder terpolarisasi baik secara horizontal (SH) maupun vertikal (SV). Mereka juga kembali menjumpai keanehan lagi, gelombang sekunder SV pada kedalaman antara 7 hingga 20 kilometer dpl di bawah Danau Toba memiliki kecepatan lebih rendah. Sebaliknya gelombang sekunder SH berkecepatan lebih rendah hanya pada kedalaman lebih dangkal dari 7 kilometer dpl.

Pada dasarnya gelombang gempa akan melaju lebih cepat jika melintasi media yang padat (batuan) ketimbang media yang cair/setengah cair (magma). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pada kerak bumi di bawah Danau Toba terdapat magma, yang tersekap dalam kantung magma. Namun tak puas jika hanya menyimpulkan seperti itu. Mereka mencoba melangkah lebih jauh untuk mengetahui strukturnya. Setelah melakukan serangkaian perhitungan dan pemodelan matematis yang rumit dan meninjau juga hasil-hasil penelitian sebelumnya, mereka berani menyimpulkan bahwa magma di bawah Danau Toba tersimpan dalam sejumlah lapisan mendatar (sill) yang bertumpuk mirip kue lapis, tertata pada kedalaman antara 7 hingga 20 kilometer dpl. Pada kedalaman lebih besar dari 20 kilometer dpl pun diduga masih seperti itu yang menerus hingga kedalaman sekitar 30 kilometer dpl, tempat kerak bumi setempat berbatasan dengan selubung atas. Sebaliknya pada kedalaman yang lebih dangkal dari 7 kilometer dpl magmanya tidak tertata seperti itu, melainkan menyelusup di sela-sela kerak bumi dengan geometri yang kacau-balau. Tim menyimpulkan kawasan kacau-balau ini adalah pertanda jelas dari masa silam, dari sebuah letusan gunung berapi yang sangat dahsyat.

Gambar 2. Penampang melintang kerak bumi di bawah Danau Toba dalam dua dimensi, dengan perkiraan kantung magma raksasanya berdasarkan penelitian gabungan Rusia, Perancis dan Jerman. Terdapat lapisan-lapisan mendatar berisi magma (sill) mulai dari kedalaman 7 hingga 20 kilometer dpl dan kemungkinan menerus hingga 30 kilometer dpl. Pada kedalaman lebih dangkal dari 7 kilometer dpl terdapat zona kacau-balau, yakni bagian kerak bumi di bawah Danau Toba yang terimbas langsung letusan sangat dahsyat 74.000 tahun silam. Sumber: Jaxybulatov dkk, 2014.

Gambar 2. Penampang melintang kerak bumi di bawah Danau Toba dalam dua dimensi, dengan perkiraan kantung magma raksasanya berdasarkan penelitian gabungan Rusia, Perancis dan Jerman. Terdapat lapisan-lapisan mendatar berisi magma (sill) mulai dari kedalaman 7 hingga 20 kilometer dpl dan kemungkinan menerus hingga 30 kilometer dpl. Pada kedalaman lebih dangkal dari 7 kilometer dpl terdapat zona kacau-balau, yakni bagian kerak bumi di bawah Danau Toba yang terimbas langsung letusan sangat dahsyat 74.000 tahun silam. Sumber: Jaxybulatov dkk, 2014.

Apa pentingnya penelitian ini? Tak lain dan tak bukan ia menegaskan bahwa Danau Toba sejatinya adalah sebuah gunung berapi. Dan dengan struktur kantung magmanya yang demikian, ia bukanlah gunung berapi biasa. Ya. Danau Toba adalah sebuah gunung berapi super (supervolcano), yang aksinya di masa silam sanggup membuat bulu kuduk kita meremang.

Letusan Toba Muda
Danau Toba. Rasanya tak ada manusia Indonesia, terlebih yang pernah mengenyam bangku sekolah, yang tak pernah mendengar namanya. Inilah perairan tawar terbesar se-Indonesia bahkan seantero Asia Tenggara. Danau ini memiliki luas 1.130 kilometer persegi yang menampung air hingga sebanyak 240 kilometer kubik, bersumber dari aneka mata air disekelilingnya seiring curah hujan tahunan lebih dari 2.100 mm/tahun (rata-rata). Paras air danau terletak di ketinggian 906 meter dpl dengan kedalaman maksimum 530 meter dari paras. Ini menjadikannya sebagai danau terdalam ke-2 di Indonesia (setelah Danau Matano di Sulawesi) dan juga danau terdalam keempatbelas di seantero Bumi. Perairan luas ini dipagari oleh tebing-tebing curam yang ketinggiannya bervariasi antara 400 hingga 1.200 meter dari paras danau, dengan puncak tertinggi menyembul 1.700 meter di atas paras danau. Air danau ini mengalir di sudut tenggara sebagai Sungai Asahan dengan debit rata-rata 155 meter kubik/detik. Besarnya debit air dimanfaatkan untuk membangkitkan listrik lewat dibangunnya waduk Sigura–gura (tinggi bendungan 47 meter) dan waduk Tangga (tinggi bendungan 82 meter) dengan total produksi 426 megawatt listrik.

Gambar 3. Topografi Danau Toba dan lingkungan sekelilingnya beserta kedalaman perairannya. Tersaji pula lubang-lubang letusan yang dibentuk oleh keempat letusan sangat dahsyat Gunung Toba di masa silam. Sumber: Chesner, 2011 dengan labelisasi oleh Sudibyo, 2014.

Gambar 3. Topografi Danau Toba dan lingkungan sekelilingnya beserta kedalaman perairannya. Tersaji pula lubang-lubang letusan yang dibentuk oleh keempat letusan sangat dahsyat Gunung Toba di masa silam. Sumber: Chesner, 2011 dengan labelisasi oleh Sudibyo, 2014.

Di tengah-tengah danau terdapat Pulau Samosir (panjang 45 kilometer, lebar 20 kilometer), yang sejatinya bukan pulau. Dahulu Samosir tersambung langsung dengan daratan Sumatra lewat jembatan alamiah (tanah genting) di sisi barat. Namun romantisme era Hindia Belanda membuat tanah genting ini dikeruk demikian rupa sehingga Samosir pun akhirnya benar-benar terpisah dan menjadi pulau yang berdiri sendiri. Di pulau terdapat dua danau kecil yakni Danau Sidihoni dan Danau Aek Natonang, membuatnya kerap disebut sebagai danau di atas danau. Selain keunikan ini, pemandangan indah di sekujur Danau Toba juga disokong oleh sejumlah air terjun seperti air terjun Sipiso-piso maupun air terjun Sigura-gura. Sigura-gura adalah air terjun setinggi 250 meter, menjadikannya air terjun tertinggi se-Indonesia. Panorama yang indah dan udara yang sejuk menjadikan danau raksasa yang juga jantung masyarakat Batak ini menjadi tujuan wisata yang populer.

Di balik keindahannya, ada misteri yang tersembunyi di danau ini semenjak awal peradaban umat manusia. Misteri yang menggetarkan itu baru terkuak kurang dari seabad silam. Ternyata danau raksasa ini adalah sebuah gunung berapi. Adalah RW van Bemmelen, geolog legendaris era Hindia Belanda, yang mengungkapnya pada masa antara 1930 hingga 1939 TU. Geolog yang sangat populer dengan opus magnumnya The Geology of Indonesia, buku yang wajib dibaca dalam pembelajaran geologi Indonesia, awalnya curiga dengan kehadiran ignimbrit yang tersebar pada area luas di Sumatra bagian utara. Ignimbrit adalah campuran antara debu vulkanik yang mengeras (tuff) dengan butir-butir batuapung yang bersifat asam (kaya silikat) demikian rupa hingga membatu. Ignimbrit hanya bisa hadir kala terjadi letusan gunung berapi yang eksplosif dan berskala besar sehingga menghempaskan awan panas dalam jumlah besar. Kian mendekat ke Danau Toba, ignimbrit yang dijumpai kian menebal saja. Bahkan dijumpai pula tuff yang terlaskan (welded tuff) yang berlimpah, lagi-lagi petunjuk terjadinya letusan berskala besar di masa silam.

Gambar 4. Singkapan ignimbrit tepat di tepi jalan di pinggiran Danau Toba. Ignimbrit ini kaya akan besi dan telah teroksidasi sehingga berwarna kemerah-merahan mirip karat. Ignimbrit inilah jejak dari letusan gunung berapi yang dahsyat di masa silam, yang menghasilkan kaldera raksasa dan kini digenangi air menjadi Danau Toba. Diabadikan oleh Ridwan Hutagalung dalam rangka Geotrek Danau Toba 2-4 November 2012 TU. Sumber: Hutagalung, 2012.

Gambar 4. Singkapan ignimbrit tepat di tepi jalan di pinggiran Danau Toba. Ignimbrit ini kaya akan besi dan telah teroksidasi sehingga berwarna kemerah-merahan mirip karat. Ignimbrit inilah jejak dari letusan gunung berapi yang dahsyat di masa silam, yang menghasilkan kaldera raksasa dan kini digenangi air menjadi Danau Toba. Diabadikan oleh Ridwan Hutagalung dalam rangka Geotrek Danau Toba 2-4 November 2012 TU. Sumber: Hutagalung, 2012.

Ignimbrit yang tebal di sekitar Danau Toba namun menipis begitu jaraknya lebih jauh mengesankan bahwa batuan vulkanik itu bersumber dari tempat yang kini menjadi Danau Toba. Jelas sudah. Danau Toba adalah perairan tawar raksasa yang menempati sebuah cekungan sangat besar produk letusan gunung berapi yang sangat dahsyat. Dengan luas cekungan 2.270 kilometer persegi (panjang sekitar 100 kilometer dan lebar sekitar 30 kilometer), maka jelaslah bahwa ia berkualifikasi kaldera. Danau Toba merupakan perairan tawar yang menempati kaldera tersebut meski genangannya tak sampai mencakup separuh luas kaldera. Sehingga Danau Toba adalah danau vulkanik. Ukuran Kaldera Toba yang demikian raksasa membuat kaldera-kaldera produk letusan dahsyat gunung berapi dalam era sejarah di Indonesia seperti kaldera Rinjani, Tambora dan Krakatau menjadi terasa kerdil. Andaikata kaldera raksasa Toba ditempatkan di pulau Jawa bagian tengah, maka ia akan membentang mulai dari Gunung Slamet di barat hingga Gunung Sumbing-Sindoro di timur.

Gambar 5. Bagaimana jika kaldera raksasa Toba dengan Danau Toba di tengah-tengahnya ditempatkan di pulau Jawa bagian tengah dan disejajarkan dengan orientasi pulau. Nampak jelas kaldera raksasa itu membentang dari Gunung Slamet di barat hingga Gunung Sumbing di timur. Sumber: Sudibyo, 2014 berbasis Google Maps.

Gambar 5. Bagaimana jika kaldera raksasa Toba dengan Danau Toba di tengah-tengahnya ditempatkan di pulau Jawa bagian tengah dan disejajarkan dengan orientasi pulau. Nampak jelas kaldera raksasa itu membentang dari Gunung Slamet di barat hingga Gunung Sumbing di timur. Sumber: Sudibyo, 2014 berbasis Google Maps.

Van Bemmelen pula yang memopulerkan istilah Tumor Batak, yakni gundukan sangat besar tempat dimana Danau Toba berada yang terpisah dari Pegunungan Bukit Barisan. Dengan Danau Toba sebagai perairan di dalam kaldera, maka Tumor Batak yang menopangnya pada hakikatnya adalah gunung berapi yang disebut Gunung Toba. Gunung Toba menjadi salah satu gunung berapi yang berdekatan/berdiri di atas sistem patahan besar Sumatra. Patahan besar ini, yang secara kasat mata nampak sebagai Pegunungan Bukit Barisan, terbentuk seiring tunjaman miring lempeng India dan Australia yang oseanik terhadap lempeng Sunda yang kontinental dan menjadi alas berdirinya pulau Sumatra. Patahan ini sekaligus adalah zona lemah di kerak bumi Sumatra yang memudahkan magma produk pelelehan sebagian di bidang kontak tunjaman merangsek ke atas.

Di kemudian hari kita kian mengetahui bagaimana lasaknya Gunung Toba ini yang menjadikannya sebagai gunung berapi super. Dalam kurun 1,2 juta tahun terakhir telah terjadi empat letusan dahsyat. Letusan terakhir sekaligus yang paling dahsyat sepanjang sejarahnya adalah Letusan Toba Muda, yang terjadi 74.000 tahun silam. Letusan Toba Muda juga adalah letusan terdahsyat yang pernah terjadi di Bumi dalam kurun 27,8 juta tahun terakhir. Ia memuntahkan tak kurang dari 2.800 kilometer kubik material vulkanik, lewat letusan dahsyat sedahsyat-dahsyatnya yang berlangsung selama sekitar dua minggu berturut–turut tanpa hentu. Dapat dikatakan setiap detiknya Gunung Toba menyemburkan tak kurang dari 4,6 juta meter kubik material vulkanik. Jika suhu magmanya saat tepat keluar dari lubang letusan berkisar 700 hingga 780 derajat Celcius, maka energi termal yang dilepaskannya mencapai 500 ribu megaton TNT. Ini setara dengan 21 juta butir bom nuklir Hiroshima diledakkan secara bersama-sama di satu titik.

toba-magma_tabel-1_letusan-tob 

Andaikata seluruh material vulkanik ini dituang demikian rupa mengubur wilayah DKI Jakarta, propinsi yang juga ibukota Indonesia itu akan terbenam di bawah timbunan batu, pasir dan debu vulkanik setebal 4,2 kilometer. Letusan yang sedemikian dahsyat dengan muntahan material vulkanik sedemikian besar membuat sejumlah letusan dahsyat gunung berapi Indonesia di era sejarah seperti Letusan Tambora 1815 maupun Letusan Krakatau 1883 menjadi terasa kerdil. Bahkan Letusan Kelud 2014 yang terasa demikian menghentak di tahun 2014 TU ini ibarat semut disandingkan dengan gajah bila dibandingkan dengan kedahsyatan Gunung Toba saat itu.

Dari 2.800 kilometer kubik material vulkanik yang diletuskannya, 1.000 kilometer kubik diantaranya meluncur deras sebagai awan panas yang mengalir ke barat dan timur. Awan panas Toba membanjiri kawasan sangat luas yang membentang dari pantai Selat Malaka di timur hingga pesisir Samudera Hindia di barat. Meski sudah menjalar jauh dari kaldera, suhunya masih tinggi, mungkin hingga 500 derajat Celcius. Akibatnya daratan Sumatra bagian utara pun diubah menjadi segersang Bulan. Segala kehidupan yang ada tersapu pun terpanggang dan musnah. Endapan awan panas gigantis inilah yang kini tersingkap sebagai ignimbrit di area seluas 20.000 kilometer persegi. Ketebalan rata-ratanya 50 meter, namun sesungguhnya bervariasi tergantung jauh dekatnya dengan Gunung Toba. Di tepi Danau Toba, ketebalan ignimbritnya mencapai 400 meter. Awan panas yang mengalir jauh tersebut dipastikan juga ada yang terjun ke Selat Malaka dan Samudera Hindia, memicu tsunami di kedua perairan itu. Namun seberapa besar tsunaminya belum diketahui, seiring volume awan panas yang masuk ke dalam kedua perairan tersebut pun belum diketahui.

toba-magma_tabel-2_perbandingan-letusan 
Letusan Toba Muda yang dahsyat itu membentuk kaldera raksasa dengan kedalaman sekitar 2 kilometer dpl akibat kosongnya kantung magma raksasa Toba, sehingga tak sanggup lagi menahan bobot tubuh gunung. Namun kaldera sedalam ini segera ditimbuni kembali oleh 1.000 kilometer kubik material vulkanik lainnya, yang terlalu berat baik untuk mengalir jauh maupun membumbung tinggi ke udara. Di dasar kaldera ini ketebalan ignimbritnya diperkirakan mencapai 600 meter. Dan 800 kilometer kubik material vulkanik sisanya berupa debu vulkanik halus yang terlontar sangat tinggi ke udara hingga menembus ketinggian 70 kilometer dpl. Sebagian debu vulkanik tersebut lantas tertiup angin ke barat dan berjatuhan menyelimuti area seluas lebih dari 4 juta kilometer persegi. Kawasan tersebut meliputi India, Semenanjung Malaya, Teluk Benggala, Samudera Hindia bagian utara, Laut Arab dan Semenanjung Arabia. Ketebalan endapan debu vulkanik di sini mencapai 10 cm (rata-rata), atau setara dengan 400 kilometer kubik material. Sisanya terbawa oleh sirkulasi angin di dalam lapisan stratosfer hingga tersebar ke segenap penjuru. Tanpa bisa dipengaruhi oleh proses-proses cuaca, debu vulkanik ini bertahan hingga bertahun-tahun di dalam lapisan stratosfer sebelum jatuh kembali ke permukaan Bumi di bawah pengaruh gravitasi. Sepanjang waktu itu ia menimbulkan efek lanjutan yang mencekik kehidupan di permukaan Bumi hingga ke titik yang paling kritis.

Musim Dingin Vulkanik
Masalah terbesar akibat Letusan Toba Muda terletak pada tebaran debu vulkaniknya ke dalam lapisan stratosfer. Umumnya 10 hingga 30 % dari material vulkanik yang disemburkan gunung berapi dalam sebuah letusan dahsyat, terlebih jika tinggi kolom semburannya melebihi 30 kilometer dpl, akan tetap bertahan di udara karena sudah terlanjur masuk jauh ke dalam lapisan stratosfer, khususnya jika berupa debu halus. Di saat yang sama, belerang yang turut terbawa sebagai gas sulfurdioksida akan bereaksi dengan butir–butir air di udara hingga membentuk tetes–tetes asam sullfat dalam rupa aerosol. Apa yang selanjutnya terjadi baru bisa kita pahami setelah dunia memasuki era nuklir lebih dari setengah abad silam.

Di tengah kancah perang urat-syaraf yang dikenal sebagai Perang Dingin, dua negara adidaya yang terlibat yakni Amerika Serikat dan Uni Soviet berlomba–lomba memproduksi senjata nuklir dalam beragam ukuran dan kekuatan. Untuk menyimulasikan dampaknya dalam berbagai kondisi, rangkaian eksperimen peledakan nuklir pun diselenggarakan. Selama masa ujicoba nuklir yang riuh itu diketahui bila senjata nuklir diledakkan di permukaan tanah ataupun bawah tanah dangkal, ledakannya akan menghembuskan material ledakan berupa debu dan batu beragam ukuran ke atmosfer. Ketinggian semburan material ledakan bergantung pada kekuatan ledakan, semakin semakin besar ledakan nuklirnya maka semakin berlimpah material ledakannya dan semakin tinggi pula mereka dihembuskan ke langit bahkan bisa memasuki lapisan stratosfer. Tebaran material ledakan sanggup memblokir cahaya Matahari selama waktu tertentu sehingga permukaan Bumi di sekitar lokasi ledakan berubah menjadi remang–remang atau bahkan gelap gulita. Apalagi jika kekuatan ledakan nuklir itu juga mengenai benda–benda mudah terbakar seperti minyak, kayu, gas, kertas dan batubara sekaligus. Asap hasil pembakaran besar–besaran akan melimpahkan jelaga ke udara yang malah kian memperparah situasi.

Dengan memanfaatkan data–data hasil ujicoba nuklir itu maka pada dekade 1980–an lima serangkai cendekiawan dengan latar belakang keilmuan berbeda mencoba merumuskan model matematika komprehensif dan serangkaian persamaan matematika kompleks yang memprediksikan bagaimana perilaku sebaran debu dan tetes–tetes asam sulfat dalam jumlah besar di lapisan stratosfer. Model ini disebut model TTAPS, berdasarkan pada huruf depan dari lima cendekiawan penyusunnya masing-masing Turco, Toon, Pollack, Ackerman dan Sagan. Model TTAPS memperlihatkan, karena berada di dalam lapisan stratosfer maka butuh waktu bertahun–tahun bagi debu dan tetes–tetes asam sulfat itu untuk turun kembali ke permukaan Bumi di bawah pengaruh gravitasi Bumi. Selagi masih melayang di lapisan stratosfer, pada dasarnya debu halus dan tetes–tetes asam sulfat itu menjadi tabir surya, terutama karena asam sulfat sangat efektif dalam menyerap cahaya Matahari. Di samping itu tabir surya juga bisa memantulkan kembali sebagian cahaya Matahari ke langit. Akibatnya albedo Bumi bakal meningkat dan cahaya Matahari yang diteruskan ke permukaan Bumi berkurang.

Akibatnya sungguh pelik mengingat cahaya Matahari membawa energi Matahari yang adalah motor penggerak utama sistem cuaca dan iklim Bumi sekaligus sumber energi utama makhluk hidup. Berkurangnya intensitas pencahayaan Matahari akan menimbulkan anomali suhu permukaan, dimana suhu rata–rata permukaan Bumi bakal merosot dibawah nilai normalnya. Sehingga Bumi akan lebih dingin, fenomena yang disebut sebagai musim dingin nuklir. Es meluas dimana-mana, baik di laut maupun di sungai/danau yang berada di kawasan subtropis. Konsekuensinya tingkat penguapan pun menurun yang bakal berlanjut pada kacau-balaunya sistem cuaca. Salah satu dampaknya adalah penurunan jumlah hujan. Ada cukup banyak tanaman bahan pangan yang sangat sensitif terhadap perubahan suhu dimana penurunan suhu 1 derajat Celcius saja bisa menyebabkan penurunan produksi atau malah bahkan bisa gagal panen. Ditambah penurunan jumlah hujan, maka eksistensi tabir surya di lapisan stratosfer itu bakal berdampak pada kekurangan bahan pangan yang akan menimbulkan bencana kelaparan massal dengan segala dampak berantainya.

Gambar 6. Ilustrasi saat-saat Gunung Toba meletus dengan dahsyatnya di hari pertamanya pada 74.000 tahun silam, yang menghembuskan debu vulkanik hingga setinggi 70 kilometer dpl sembari menghempaskan awan panas ke segenap Sumatra bagian utara. Arah pandang adalah ke tenggara. Sumber: Anynobody, 2009 dalam Wikipedia, 2009.

Gambar 6. Ilustrasi saat-saat Gunung Toba meletus dengan dahsyatnya di hari pertamanya pada 74.000 tahun silam, yang menghembuskan debu vulkanik hingga setinggi 70 kilometer dpl sembari menghempaskan awan panas ke segenap Sumatra bagian utara. Arah pandang adalah ke tenggara. Sumber: Anynobody, 2009 dalam Wikipedia, 2009.

Bagaimana jika skenario musim dingin nuklir ala model TTAPS diterapkan pada Letusan Toba Muda?

Letusan Toba Muda menyemburkan tak kurang dari 6 milyar ton gas sulfurdioksida ke atmosfer. Begitu bertemu dengan uap air di udara, gas tersebut berubah menjadi 3 milyar ton aerosol asam sulfat. Koalisi tetes-tetes asam sulfat ini dengan debu vulkanik di dalam lapisan stratosfer membentuk tabir surya vulkanik yang cukup tebal, hingga setebal paling tidak 500 meter. Tabir surya ini diperhitungkan memblokir cahaya Matahari demikian rupa sehingga jumlah cahaya Matahari yang berhasil diteruskan ke permukaan Bumi kurang dari 1 % terhadap normalnya. Akibatnya di siang hari bolong pun situasi tetap meremang. Matahari akan nampak memerah seperti situasi dalam setengah jam jelang terbenam, meski di tengah hari yang seharusnya terik. Intensitas pencahayaannya juga anjlok drastis hingga 120 watt per meter persegi di bawah normalnya. Albedo Bumi pun meroket ke posisi 70 % dari normalnya 30 % dan bertahan hingga sedikitnya 10 tahun pasca letusan. Dalam situasi tersebut, model TTAPS memperlihatkan suhu rata-rata permukaan Bumi anjlok hingga bisa mencapai 17 derajat Celcius di bawah normal. Musim dingin pun berkecamuk, yang bisa disebut sebagai musim dingin vulkanik. Suhu dingin ini memang hanya bertahan selama sekitar 1.000 tahun pasca letusan. Namun kombinasinya dengan siklus Milankovitch dan faktor–faktor tak menguntungkan lainnya menyebabkan Bumi seisinya terseret ke dalam zaman es Wurm utama, meski Bumi baru saja keluar dari zaman es Wurm awal 20.000 tahun sebelumnya. Zaman es Wurm utama berkecamuk selama sekitar 50.000 tahun kemudian dan baru berakhir pada sekitar 20.000 tahun yang lalu.

Kurangnya cahaya Matahari juga menyebabkan tingkat penguapan global terjun bebas hingga 45 % di bawah normal. Konsekuensinya jumlah uap di atmosfer pun anjlok hingga 50 % dibawah normal untuk lapisan troposfer dan hingga 25 % di bawah normal di lapisan stratosfer. Maka curah hujan pun merosot, yang dalam puncaknya sampai merosot drastis hingga 44 cm/tahun di bawah normal. Berkurangnya hujan amat menyengsarakan kawasan–kawasan yang dalam keadaan normal pun curah hujannya sudah kecil. Bahkan hal ini turut mendorong anjloknya paras air laut hingga 40 meter di bawah paras sebelumnya dan bertahan selama 7.000 tahun kemudian.

Musim dingin vulkanik akibat Letusan Toba Muda berimbas sangat buruk bagi kehidupan. Dengan intensitas cahaya Matahari kurang dari 1 % terhadap normalnya, praktis mayoritas tumbuh-tumbuhan berhenti menyelenggarakan fotosintesis. Ditambah dengan suhu yang teramat dingin, mereka pun mati perlahan-lahan. Bencana segera menjalar melalui rantai makanan. Mayoritas binatang juga kelaparan dan pada akhirnya mati bertumbangan. Anjloknya populasi hewan pun terjadilah, seperti diperlihatkan dalam analisis genetik yang menimpa populasi simpanse Afrika timur, orangutan Kalimantan, kera India, harimau dan cheetah. Manusia, khususnya populasi Homo sapiens arkhaik, turut terkena dampaknya jua. Analisis genetik memperlihatkan sekitar 60 % dari mereka tewas dalam bencana ini dan hanya tersisa sekitar 15.000 populasi saja yang terus berjuang untuk bertahan hidup.

Gambar 7. Bagaimana letusan dahsyat gunung berapi berdampak ke lingkungan sekitar dengan memicu musim dingin vulkanik dalam lingkup regional hingga global. Sumber: Max Planck Institute fur Meteorologie, 2014 dengan labelisasi oleh Sudibyo, 2014.

Gambar 7. Bagaimana letusan dahsyat gunung berapi berdampak ke lingkungan sekitar dengan memicu musim dingin vulkanik dalam lingkup regional hingga global. Sumber: Max Planck Institute fur Meteorologie, 2014 dengan labelisasi oleh Sudibyo, 2014.

Masihkah Aktif?
Pasca Letusan Toba Muda, kaldera raksasanya mulai tergenangi air. Dengan curah hujan tahunan masa kini 2.100 mm/tahun dan tingkat penguapan tahunan masa kini 1.350 mm/tahun, butuh waktu sekitar 1.500 tahun saja untuk menggenangi kaldera ini sebagai Danau Toba. Namun jika memperhitungkan air bawah tanah dan aliran permukaan dari kawasan sekitarnya, waktu terbentuknya Danau Toba mungkin saja berlangsung lebih cepat ketimbang 1.500 tahun pasca Letusan Toba Muda.

Di perutbuminya, kantung magma raksasa Toba hingga kedalaman 7 kilometer dpl nyaris kosong setelah isinya nyaris dikuras habis dalam Letusan Toba Muda. Namun secara perlahan-lahan magma segar kembali mengalir ke sini dari dalam lapisan selubung, kemungkinan dari bidang kontak tunjaman antarlempeng tektonik, dan mengisinya. Lama-kelamaan jumlah magma segarnya telah cukup signifikan untuk yang mengalir dari bidang kontak tunjaman. Pengisian magma secara terus–menerus menyebabkan lapisan-lapisan kantung magma raksasa mulai menggelembung kembali dan mengangkat massa batuan diatasnya. Proses vulkano–tektonik pun terjadilah. Lantai kaldera terangkat naik secara asimetris mulai sekitar 33.000 tahun silam pada kecepatan sekitar 1,8/cm. Sehingga lantai kaldera sisi barat akhirnya menyembul di atas paras danau menjadi Pulau Samosir. Karena itu di Pulau Samosir masih dijumpai lapisan-lapisan endapan khas dasar danau. Pengangkatan asimetris ini membuat lapisan-lapisan endapan tersebut berkedudukan miring antara 5 hingga 8 derajat ke arah barat. Pengangkatan sejenis juga terjadi di lantai kaldera sisi timur, membentuk blok Uluan. Namun kecepatan pengangkatannya lebih rendah, yakni hanya 0,5 cm/tahun sehingga ia tidaklah setinggi Pulau Samosir meski tetap menyembul di atas paras danau. Kemiringan lapisan-lapisan endapan di blok Uluan pun berlawanan dengan Pulau Samosir, yakni miring ke timur. Sebagai akibat dari pengangkatan Pulau Samosir dan blok Uluan maka lantai kaldera di antara keduanya berubah menjadi lembah sangat curam yang tetap tergenang air. Kini lembah itu dikenal sebagai Selat Latung.

Gambar 8. Bagaimana dampak Letusan Toba Muda terhadap tumbuh-tumbuhan hutan hujan tropis terlihat dalam simulasi ini. Bila semula hutan hujan tropis masih cukup rapat di kawasan Amerika selatan, Afrika, Asia selatan dan Asia tenggara sebelum letusan (atas), maka hanya dalam empat tahun pasca letusan hampir semuanya telah musnah. Sumber: Robock dll, 2008.

Gambar 8. Bagaimana dampak Letusan Toba Muda terhadap tumbuh-tumbuhan hutan hujan tropis terlihat dalam simulasi ini. Bila semula hutan hujan tropis masih cukup rapat di kawasan Amerika selatan, Afrika, Asia selatan dan Asia tenggara sebelum letusan (atas), maka hanya dalam empat tahun pasca letusan hampir semuanya telah musnah (bawah). Sumber: Robock dll, 2008.

Selain mengangkat lantai kaldera hingga membentuk Pulau Samosir dan blok Uluan, magma segar yang mengisi kembali kantung magma raksasa Toba juga sempat keluar ke permukaan Bumi di beberapa titik. Di tepi kaldera sisi barat magma itu membentuk Gunung Pusukbukit (1.982 meter dpl) yang kini diklasifikasikan ke dalam gunung berapi aktif tipe B seiring adanya sumber uap air (fumarol), sumber gas sulfurdioksida (solfatara) dan mata air panas di lereng utaranya. Sementara di tepi sebelah utara terbentuk Gunung Tandukbenua (1.860 meter dpl) yang juga digolongkan ke dalam gunung berapi tipe B. Sedangkan di tepi selatan terbentuk kompleks kubahlava Pardepur yang terdiri dari sedikitnya empat kubah lava. Mata air panas juga dijumpai di sini. Dan di Pulau Samosir sisi barat, tepanya di antara Gunung Pusukbukit dan kompleks Pardepur, dijumpai bagian-bagian yang membumbung sedikit, mengindikasikan adanya kubah lava tersembunyi (cryptodome). Sementara di sisi timurnya khususnya di Semenanjung Tuktuk dan sebelah utaranya juga dijumpai kubah lava.
Apakah saat ini Gunung Toba masih aktif?

Gambar 9. Panorama Gunung Pusukbukit (kiri), salah satu gunung berapi yang terbentuk jauh hari setelah Letusan Toba Muda, tepatnya kala kantung magma raksasa Gunung Toba mulai terisi kembali. Ada beberapa titik fumarol di gunung ini, salah satunya di lereng utaranya (kanan). Sumber: Sutawidjaja, 2008 dalam Warta Geologi, 2008.

Gambar 9. Panorama Gunung Pusukbukit (kiri), salah satu gunung berapi yang terbentuk jauh hari setelah Letusan Toba Muda, tepatnya kala kantung magma raksasa Gunung Toba mulai terisi kembali. Ada beberapa titik fumarol di gunung ini, salah satunya di lereng utaranya (kanan). Sumber: Sutawidjaja, 2008 dalam Warta Geologi, 2008.

Antara ya dan tidak. Pada satu sisi Gunung Toba dikategorikan masih aktif. Hal itu ditegaskan lagi oleh hasil penelitian gabungan Rusia, Inggris dan Jerman barusan. Ia masih menyimpan magma di kantung-kantung magma raksasanya. Namun di sisi lain, Gunung Toba tidaklah seagresif gunung berapi super lainnya seperti Yellowstone (Amerika Serikat). Kaldera Yellowstone telah berkali-kali diguncang rentetan gempa dan naiknya lantai kaldera, indikasi dari pergerakan fluida di perutbuminya entah berupa magma ataupun cairan hidrotermal lainnya. Sementara kaldera raksasa Danau Toba tidaklah seperti itu. Dan jika mengacu kepada sejarah letusan dahsyatnya, Gunung Toba membutuhkan waktu paling tidak antara 340.000 hingga 765.000 tahun untuk beristirahat dan menghimpun tenaga sebelum meletus sangat dahsyat kembali. Dengan Letusan Toba Muda terjadi pada 74.000 tahun silam, letusan dahsyat Gunung Toba yang selanjutnya barangkali akan terjadi 266.000 hingga 691.000 tahun dari sekarang.

Referensi :
  1. Chesner. 2011. The Toba Caldera Complex. Quaternary International (2011) pp 1–14.
  2. Petraglia dkk. 2007. Middle Paleolithic Assemblages from the Indian Subcontinent Before and After the Toba Super–eruption. Science vol. 137 (2007) pp 114–116.
  3. Chesner dkk. 1991. Eruptive History of Earth’s Largest Quaternary Caldera (Toba, Indonesia) Clarified. Geology vol. 19 (1991), pp. 200–203.
  4. Rampino & Self. 1992. Volcanic Winter and Accelerated Glaciation Following the Toba Super–eruption. Nature, vol 359 (1992), pp. 50–52.
  5. Rampino & Self. 1993. Climate–Volcanism Feedback and the Toba Eruption of ~74.000 Years Ago. Quaternary Research vol 40 (1993), pp. 269–280.
  6. Rose & Chesner. 1987. Dispersal of Ash in the Great Toba Eruption, 75 ka. Geology, vol 15 (1987), pp. 913–917.
  7. Schulz dkk. 1998. Correlation Between Arabian Sea and Greenland Climate Oscillation of the Past 110.000 Years. Nature, vol. 393 (1998), pp. 54–57.
  8. Rampino. 2002. Super–eruptions as a Threat to Civilizations on Earth–like Planet. Icarus, vol. 156 (2002), pp. 562–569.
  9. Robock dkk. 2008. Did the Toba Volcanic Eruption of ~74 k BP Produce Widespread Glaciation? Journal of Geophysical Research, submitted.
  10. Sutawidjaja. 2008. Kaldera “Supervolcano” Toba. Majalah Warta Geologi vol. 3 no. 4 (2008) halaman 20–25.
  11. Jaxybulatov dkk. 2014. A Large Magmatic Sill Complex Beneath the Toba Caldera. Science, vol 346 no. 6209 (31 October 2014), pp. 617-619.

Posting Komentar

Anda dapat mengomentari artikel ini menggunakan akun google anda. Silahkan untuk masuk ke email anda / akun google kemudian berkomentar secara bijak.

Lebih baru Lebih lama

Paket Pendakian Gunung

Package Corporate

Package Honeymoon

Safary Trip

Xplore Wisata

XploreWisata merupakan salah satu jasa penyedia jasa layanan guide dan porter pendakian gunung.

Hubungi Admin